Pendahuluan
Lampung memiliki teater tradisional yang disebut atau We. adalah sejenis teater
tradisional yang dapat dianggap sebagai embrio teater modern di daerah Lampung.
Di tengah dunia yang serba digital bagaimana keberadaannya kini?
Apakah bisa bersaing dengan kesenian pop yang menggelontor lewat layar
kaca dan virtual
hingga ke pekon-pekon. Teater tradisional merupakan sebuah
bentuk teater asli ----yang bersumber dan berakar pada bumi Indonesia---
telah dirasakan dan dimiliki masyarakat lingkungannya, dan dapat
ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Bahasa pengantar dalam
pertunjukan biasanya menggunakan bahasa daerah setempat. Oleh sebab itu,
teater tradisional sering juga disebut dengan teater
tradisional/daerah.Indonesia memiliki sederet teater tradisional yang hingga
kini tetap hidup dan eksis dalam komunitasnya. Misalnya, Didong (Aceh), Bakaba (Sumatera Barat),Dul
Muluk (Sumsel),
Lenong (Jakarta), Dalang Jemblung (Banyumas), Ketoprak(Jateng), Ludruk (Jatim), Arja (Bali), dan Mamanda
(Riau dan Kalimantan). Di
daerah Lampung sendiri hingga saat ini hidup beberapa jenis teater
tradisional seperti ludruk,
ketoprak, dan lenong yang masing-masing
berasal dari daerah asalnya. Sedangkan Lampung memiliki teater tradisional yang
disebut yakni tradisi lisan yang dituturkan oleh seseorang yang
disebut pewarah.
Teater Tradisional dan Budaya Tutur
Sebagai teater tradisional, Warahan banyak
menampilkan cerita-cerita dongeng atau cerita rakyat yang berisi
nasehat-nasehat dan di sampaikan secara bertutur (penyampian secara lisan). Waktu
pertunjukan biasanya diadakan pada sore hari atau malam hari. Sumber
cerita banyak
berasal dari cerita rakyat dan amat kaya dengan tema-tema cerita
yang berunsurkan peristiwa adikodrati. Tema cerita seperti ini kadangkala dianggap di luar logika masyarakat yang sudah beraksara, serta sering
dinilai tidak ilmiah. Namun, yang perlu kita petik dari cerita ini
adalah tendensi atau maksudnya. Fungsi utama pada masa lalu, terutama
ketika lembaga sekolah belum sebanyak sekarang, ini dijadikan sebagai
sarana untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak, menantu, cucu dan anggota
kerabat lainnya.
Asal -Usul Warahan
Secara etimologis masyarakat Lampung kurang mengetahui arti dari
kata itu sendiri. Beberapa tokoh masyarakat berpendapat bahwa dekat
pengertiannya dengan kata akhca yang berarti berita
atau cerita dan akat akhan yang berarti tujuan
atau maksud. Dengan kata lain, lebih kurang kedua kata tersebut memiliki arti “Cerita
yang mempunyai
arah dan tujuan”.Sebagai sebuah seni pertunjukan lisan, ini
merupakan gabungan beberapa unsur kesenian yaitu, musik, seni sastra, dan seni
gerak. Pada awalnya cerita atau berita memiliki tujuan yang khusus disampaikan
merupakan petunjuk atau arahan dengan maksud tuntunan dan contoh-contoh
perbuatan yang baik. Berasal dari kata “Warah” yaitu nasehat atau ajaran
yang menurut cerita dari tokoh atau tua-tua yang berasal dari Jawa yang telah
diadaptasi oleh penduduk yang berada di daerah Lampung. Hal ini bisa saja
terjadi dan dimungkinkan dengan masa peralihan dan jatuh bangunnya kerajaan
Hindu di pulau Jawa yang digantikan kerajaan Islam. Sekira pada abad ke-15 pada
waktu itu dengan dianutnya agama Islam oleh penduduk Banten, maka agama Islam
diajarkan atau diwarahkan oleh orang-orang Banten yang datang ke
daerah Lampung. Berangsur-angsur orang Lampung meninggalkan kepercayaan lamanya
dan memeluk agama Islam, sesuai dengan kata yang makin memasyakat.
Lahirnya pertunjukan ini ditenggarai sejak orang Lampung mengenal
sastra daerah. Cerita yang dibawakan dapat berbentuk pantun, liris, prosa atau
bahasa bebas, disertai berbagai kreatifitas dari pewarah yang membawakannya.
sebagai teater tradisional kemudian menjadi teater dalam pengertian masa
kini yang mula dari daerah lampung mempunyai fungsi sebagi alat hiburan,
alat pendidikan, penerangan, dan sebagai pembangkit rasa keindahan. Saat
ini itu
sudah jarang sekali dilakukan di daerah Lampung terutama di kota-kota besar,
apalagi para pendukungnya sudah berusia lanjut. Hal ini juga karena
kemajuan teknologi komunikasi dan audio visual dan di satu pihak kurangnya perhatian
terhadap perkembangan , sehingga makin
terdesak. Untuk menyelamatkan ini
perlu dibina dan dikembangkan sebagai sumber inspirasi dalam mengolah
teater tardisional maupun modern.
Isi, Pewarah,
dan Waktu Pertunjukan
Pada uraian terdahulu banyak bertitiktolak pada pendapat atau bersumber
pada seniman usia lanjut atau tokoh masyarakat dan sedikit pengalaman. ini dikenal sulit
dilacak. Beberapa cerita yang dikenal sering dibawakan oleh sipembawa cerita
atau pewarah,
seperti: Cerita
Anak Dalom, Khaya Ngaka Pitu, Sitamba danRadin Jambat Hangkirat.
Pada awalnya cerita itu disampikan dalam bentuk cerita diawali dengan
kata pembukaan yang disebut Sumbah
Siah. Biasanya ini dilakukan pada malam hari menjelang tidur.
Kegiatan ini berasal dari kebiasaan nenek atau kakek setelah lelah
bekerja seharian, akan minta diurut kakinya oleh anak cucu. Agar tidak
mengantuk si kakek bercerita sesuai dengan keinginan anak cucunya. Sepanjang
bercerita biasanya si kakek hanya telungkup, tetapi saat cerita tersebut
menggambarkan sesuatu yang istimewa, maka kakek (penutur ) akan bangun dan
memperagakan isi cerita. Misalnya, ketika menggambarkan kecantikan
seorang putri, kegagahan seorang pemuda, dan adegan lainnya. Pada masa lalu,
belum menggunakan alat musik khusus sebagai pengiring pertunjukan. Musik
dalam pertunjukan awalnya hanyalah tepuk tangan dan suara mulut pewarah.
Dalam perkembangan selanjutnya pewarah mulai menggunakan
properti atau alat musik. Tokoh-tokoh pewarah yang cukup
dikenal pada masa lalu adalah Tamong Bama dan Mamak Barahim. Pewarah ini mulai
diundang dan ditanggap masyarakat terutama pada acara-acara tertentu yang
terkait dengan pelaksanaan upacara dangawi adat. Si pewarah duduk bersila dengan
pakain rapi di hadapan para pendengar yang melingkar atau mengikuti bentuk
arena yang disediakan atau di sediakan tempat khusus yang disebut babakhung atau balai. berupa
bentuk bait-bait pantun lisan yang disampaikan tanpa teks dengan diiringi
alat musik khas yaitu gambus lunik. Dengan demikian sipewarah telah menghayati isi
cerita yang disampaikan sekaligus si pewarah memulaiwarahannya sesuai
pokok penyuluhan (gawi
adat). Biasa warahan ditaja sekira bakda
Isya hingga menjelang beduk subuh tiba.
Perkembangan Warahan
Berdasarkan penelitian Dinas Pendidikan dan Kesenian Provinsi Lampung pada
tahun 1976 dan 1978, dikategorikan
sebagai seni teater tutur. Pada perkembangan berikutnya, salah satu tokoh
teater Lampung almarhum BM Gutomo alias Sembrani mencoba menyentuh dan
mengolah ke menjadi sebuah seni pertunjukan rakyat. Pada tahun 1980
ketika digelar Festival Seni Pertunjukan Tingkat Nasional di Taman
Ismail Marzuki(TIM), Jakarta, Lampung menyajikan materi . Pada kesempatan itu
Lampung membawakan yang berjudul “Pemasu” (pemburu) dengan pewarah Mursid Ali. Pada perkembangan
berikutnya teaterawan Lampung Wawan Dharmawan dengan sanggar seni
“Beringin Jaya” (dulu) dan “Lamban Budaya” (kini) terus konsisten
mengembangkan . Wawan mengemas Warahan dengan sentuhan
Pertunjukan Rakyat. Beberapakali Warahan garapan Wawan ini
berjaya di Festival Pertunjukan RakYat (Jukra) tingkat nasional yang
ditaja era Departemen Penerangan belum dilikuidasi. Sekain itu, secara
rutin Wawan dan Grup Lamban Budaya rutin mengisi warahan di TVRI SPK Lampung. Selain
itu, masih ada Jalu Mampang dengan teater “Jaman”nya yang rajin menularkan
konsep warahan pada komunitas teater
pelajar Lampung. Terkini, Teater Satu (Bandar Lampung) yang dimotori
Iswadi Pratama terus mengolah warahan dalam sentuhan
dramaturgi modern. Ruh “tradisi” warahanyang
konsisten disuntikkan Iswadi Pratama selaku sutradara dalam setiap
garapannya ini menjadikan “Teater Satu” yang dipimpinnya punya karakter
dan berbeda dengan teater modern lainnya. Teater yang pernah menyabet
juara ketiga Festival Teater Alternatif yang ditaja TIM dan Gedung Kesenian
Jakarta (GKJ) ini, kini merupakan salah satu teater potensial di Indonesia dan
cukup diperbincangkan. Selain itu, kiprah Teater Satu makin mantap,
beberapa kali pentas di Teater Utan Kayu (TUK), Taman Ismail Marzuki
(TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) juga di beberapa kota seperti Tegal, Solo,
Bandung, Makasar dan mendapat dana hibah dari Yayasan Kelola.
Bentuk Penyajiannya
Teater merupakan salah satu bentuk seni yang bersumber dari materi gerak dan
suara yanterpadu, yang diekpresikan lewat laku dan dialog dengan jalinan
cerita. Ini disebut teater mula, embrio atau pra taeter, karena cara penyajian warahan ini belum
selengkapnya memenuhi persyaratan seperti bentuk teater pada umumnya. Namun demikian
sebagai teater tradisional Lampung mempunyai unsur pokok taeter berupa adanya
ceita lakon, pelaku (pewarah) yaitu
yang membawakan lakon dan penonton atau pendengar, walaupun unsur itu tidak
lengkap sebagai sebuah teater. Pergelaran warahan biasanya dilakukan di
arena bebas. Pelakon atau pewarah biasanya orang yang pandai mewarah umumnya
para orang tua yang berusia lanjut. Dalam berkisah biasanya para pewarah
terkadang ditemani oleh seorang atau beberapa oarng yang memberikan ilustrasi
atau sugesti untuk memperkuat kisah ceritanya. Pewarah biasanya tak menggunakan
properti atau alat. Jadi si pewarah biasanya membawakan cerita dalam bahasa
Lampung mimik dengan serius, ekspresif dan gerakan-gerakan pendukung yang
menarik. Bentuk kesenian yang digolongkan dalam teater tutur ini lama
disebut-sebut oleh para seniman teater, tepatnya penataran dan bimbingan tenaga
teknis pemilik kebudayaan dan pekerja seni yang diadakan pada tahun 1976 dan
tahun 1978 di Provinsi Lmpung, dengan menghadirkan tokoh-tokoh teater dari
Direktorat kesenian Jakarta antara lain: A.Kasim Ahmad dan Bapak Yahya Ganda. Warahan yang masuk
cabang seni teater ini sangat membutuhkan sentuhan tangan para pekerja
seni, untuk menjadi karya seni agar dapat dinikmati masyarakat Lampung.
Penelitian Warahan
Penelitian terhadap Warahan pun mulai dilakukan
olek kaum akademis.Pada tahun 1992 Imas Sobariah dari STSI Bandung membahas warahan dalam skripsinya
bertajuk ” Sandyakalaning Warahan di Lampung” dan
denyut kehidupan warahan di Lampung. Penelitian
Imas Sobariah yang mengangkatWarahan ini
makin memperkokoh eksistensi seni teater ini. Terkini pada tahun 2008
lalu, Linda , Mahasiswa Pasca Sarjana UGM asal Lampung , dari Program Studi
Ilmu Kedokteran melakukan penelitian tentangwarahan sebagai media promosi
kesehatan (promkes), melalui tesisnya yang mengusung tajuk: Pengaruh Media
Kesenian Tradisional Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap
Masyarakat Dalam Pengenalan Tersangka Tuberkolosis Paru(TB) di Kecamatan
Telukbetung Barat, Kota Bandar Lampung. Menurut hasil penelitian Linda
setelah diintervensi dengan media kesenian tradisional warahan,
pengetahuan dan sikap kelompok warahan meningkat dan retensi
bertahan hingga sebulan.. Sedangkan pada kelompok ceramah hanya dapat
meningkatkan pengetahuan dalam jangka pendek. Hanya hingga postes pertama,
sedangkan sikap masyarakat tidak berubah dalam pengenalan tersangka
tuberkolosis (TB) paru. Linda yang kini sudah berhasil mendapatkan gelar
Magister Kesehatan (M.Kes) dari Universitas Gajah Mada ini, menyimpulkan bahwa
penyajian pesan TB Paru melalui media kesenian tradisional Warahan lebih meningkatkan
pengetahuan dan sikap masyarakat dalam pengenalan tersangka penderita
Tuberkolosis paru dibandingkan dengan mengunakan media ceramah.
Media Industri Kreatif
Sekarang, seiring dengan perkembangannya warahan yang awalnya
berfungsi hanya sebagai media hiburan kemudian dapat
dijadikan media sosialisasi dan informasi. Seni (teater) warahan dapat dijadikan salah
satu alternatif untuk promosi dan kampanye kesehatan atau program-program
pemerintah lainnya. Teater warahan dapat diadopsi
menjadi seni pertunjukan yang dapat dijadikan salah satu alternatif tontonan
dan sekaligus tuntunan pada masyarakat. Warahan sebagai salah satu
warisan budaya tak teraba (intangible) dapat dijadikan salah
satu ikon budaya Lampung.
Diharapkan warahan ke depan sebagai
salah satu seni pertunjukan khas Lampung semakin eksis dan bertumbuhkembang di
era industri kreatif yang makin penuh dengan tantangan ini.